Home Sport Berani Mengkritik Rooney, Berani Juga Mengkritik Mourinho

Berani Mengkritik Rooney, Berani Juga Mengkritik Mourinho

Jose Mourinho dikritik ketika dia mengkritik pemainnya sendiri. Wajar. Sebab, sebagai seorang manajer, tanggung jawab terbesar, ya, ada pada dirinya sendiri.

Tapi, kalau sampai mengkritik Mourinho seperti Jamie Redknapp, yakni sampai menyebut bahwa “Sir Alex Ferguson dulu tidak begitu”, rasanya agak kebangetan juga. Media Inggris, dan fans Manchester United khususnya, kudu lekas-lekas bangun. Ini sudah tahun 2016. Sir Alex sudah pensiun tiga tahun lalu.

Membandingkan Mourinho dengan pendahulu-pendahulunya jelas tidak masuk akal. Masalahnya, perbandingan-perbandingan semacam itu hanya muncul ketika performa tim buruk. Bagaimana jika tim sedang bagus? Misalnya, Mourinho menang 4 kali dalam 7 pertandingan pertamanya, sementara Sir Alex hanya menang 2 kali dalam 7 pertandingan pertamanya.

Uniknya, Sir Alex sendiri, ogah menengok-nengok ke belakang. Baginya, euforia kemenangan atau menjadi juara itu hanya bersifat sementara. Begitu euforia itu selesai dalam satu atau dua hari, timnya sudah harus bekerja lagi keesokan harinya. Dan begitu seterusnya.

Maka, mengkritik Mourinho semata-mata karena dia melakukan apa yang tidak dilakukan Sir Alex dulu adalah sesuatu yang absurd. Tiap manajer punya gayanya sendiri-sendiri. Bagaimana, misalnya, di Italia sana ketika Sinisa Mihajlovic terang-terangan menyebut strikernya sendiri, Maxi Lopez, kegendutan dan seperti bermain dengan mesin cuci di punggungnya? Kejam, bukan?

Tapi, percayalah, Italia memang punya kultur yang berbeda. Sebuah operan yang salah bisa disambut dengan cemoohan, sementara di Inggris, sebuah tendangan melambung masih mungkin disambut dengan tepuk riuh penuh semangat.

Toh, manajer sesukses Sir Alex sendiri bukannya tidak pernah punya cela dengan pemain sendiri. Ia memang tidak pernah mengkritik pemain, tapi aksinya menendang sepatu di ruang ganti hingga mengenai pelipis David Beckham tersebar ke media. Efeknya tentu mirip-mirip. Tidak mengkritik pemain di hadapan media adalah usaha untuk menutupi masalah di dapur sendiri. Tapi, bagaimana jika sudah ditutupi namun tetap ketahuan juga?

Apa bedanya juga dengan manajer yang mencadangkan seorang pemain yang membuat blunder di pertandingan berikutnya? Ya, mungkin bedanya caranya lebih halus ketimbang mengkritik langsung di hadapan media. Tapi, dengan begini bisa dipahami: Mengkritik pemain di depan media bukannya “tidak benar”, melainkan “kurang elok”.

Kalaupun ingin mengkritik Mourinho, caranya sebenarnya mudah saja. Daripada membanding-bandingkan dirinya dengan cara Sir Alex menjadi manajer, lebih gampang mengkritiknya dari bagaimana cara timnya bertanding.

Benarkah buruknya Manchester United dalam tiga pertandingan terakhir, di mana mereka kalah dari Manchester City, Feyenoord, dan Watford, karena Wayne Rooney? Pertama-tama, perlu diingat, Rooney tidak bermain pada laga melawan Feyenoord. Namun, di dua laga lainnya, ia memang tidak tampil istimewa –kalau tidak mau dibilang buruk.

Rooney lantas jadi kambing hitam. Dia disebut sudah terlalu lambat, operannya payah, dan visi bermainnya pun nol. Solusi lanjutan dari cercaan ini adalah saran untuk sebaiknya mencadangkan Rooney saja.

Tudingan-tudingan di atas memang tidak salah. Dari catatan statistik pada laga melawan Watford saja bisa dilihat bahwa Rooney memang tidak banyak memberikan kontribusi. Rooney memang sukses mengkreasikan 2 peluang, tapi keduanya berasal dari sepak pojok.

Bagaimana dengan statistik operan? Rooney melepaskan 33 operan, tapi 13 di antaranya ke sayap, 12 di antaranya ke belakang, dan hanya 6 yang mengarah ke depan. Jika dirata-rata, Rooney cuma melepaskan umpan ke arah depan sekali setiap seperempat jam. Terbayang tidak bagaimana mudahnya membaca tim yang konduktornya lebih sering melepas operan ke sayap?

Padahal, dengan masuknya Paul Pogba ke dalam skuat saat ini, United bisa bermain lebih direct ketimbang ketika ditangani Louis van Gaal musim lalu, di mana mereka lebih sering memutar-mutar bola tanpa ada tusukan langsung ke depan.

Namun, masalah United sesungguhnya lebih dari Rooney. Jika memperhatikan pertandingan babak I versus City, laga melawan Feyenoord, dan laga melawan Watford, para pemain United seperti bermain sendiri-sendiri.

Ambil contoh pada satu momen ketika Zlatan Ibrahimovic melakukan serangan saat menghadapi Manchester City. Striker asal Swedia itu bergerak sendirian tanpa ada pemain lain yang mendukungnya. Ibrahimovic berada pada situasi satu lawan tiga tanpa ada pemain sayap bergerak naik untuk menerima operan darinya. Alhasil, serangan itu pun gagal.Para pemain United kerap terlihat berdiri sendiri-sendiri dengan jarak yang teramat jauh. Ini membuat gerak pemain United dengan gampang ditutup ketika melakukan serangan atau ditekan ketika bertahan karena kalah jumlah.

Padahal, keunggulan jumlah seringkali menjadi cara untuk mengontrol permainan dan mendominasi satu area di lapangan. Ambil contoh bagaimana Pep Guardiola menugaskan dua orang full-back-nya untuk bermain lebih ke dalam. Ini bukan perkara gaya-gayaan tanpa tujuan. Tapi, dengan meminta kedua full-back untuk bermain lebih ke dalam, timnya menjadi unggul jumlah di lini tengah, membuat lawan kesulitan untuk mengembangkan permainan.

Lihat juga kengototan Guardiola untuk bertahan dengan tiga orang pemain. Biasanya, selain dua orang bek tengah, Guardiola juga meminta holding midfielder-nya turun ke belakang. Tujuannya? Apalagi kalau bukan keunggulan jumlah dan menutup ruang.

Jika menghadapi satu orang striker, dua bek tengah tim Guardiola akan mengapit striker tersebut, sementara si holding midfielder akan berdiri di depan si striker. Tiga lawan satu. Dan ini membuat si striker terisolasi.

Jika menghadapi dua orang striker, ketiga pemain bertahan itu akan berdiri sejajar menghadapi dua orang striker tersebut. Tiga lawan dua. Unggul jumlah.

United? Maaf-maaf saja. Simak bagaimana ketika Watford mencetak gol pertama mereka akhir pekan lalu. Anthony Martial, yang berada di area pertahanan sendiri, justru berdiri sendirian. Ia kesulitan ketika ditekan oleh dua orang pemain Watford dan akhirnya bola terebut.

Idealnya, Martial ditemani oleh bek kiri United, Luke Shaw, sehingga ia memiliki opsi untuk membagi bola. Tapi, Shaw sudah keburu maju jauh, kendati pun niat Shaw maju jauh itu bisa dipahami; ia ingin buru-buru melakukan serangan balik. Namun, momennya tidak tepat.

Melihat cara main United yang bermain seperti sendiri-sendiri itu, muncul pertanyaan lain: Memangnya bagaimana, sih, pola latihan mereka? Kalau urusannya sudah bagaimana cara mereka berlatih, tentu saja Mourinho tidak lepas dari tanggung jawab.Berani mengkritik Rooney, berarti harus berani juga mengkritik Mourinho. Memasang Rooney di lini tengah, dengan berkaca pada statistiknya pada laga melawan Watford, memang bukan opsi terbaik.

Dengan ide United untuk melakukan serangan balik secepat mungkin seusai merebut bola dari lawan, menaruh seorang penyuplai bola yang minim melepas operan ke depan dan lebih sering melepas operan panjang ke sayap, jelas bukan perpaduan yang pas. Sebab, ketika bola terlalu lambat diberikan ke depan, lawan akan langsung mengatur barisan dan memasang blok. Imbasnya, ruang yang tadinya sudah terbuka pun tertutup kembali.

Anehnya, Mourinho sendiri yang mengatakan di awal bahwa ia tidak melihat seorang Rooney sebagai gelandang. Anehnya, Mourinho juga yang memasangnya sebagai gelandang.

Jika menginginkan kontrol di lini tengah, atau gelandang yang bisa memberikan operan direct ke depan, Mourinho masih punya Morgan Schneiderlin ataupun Michael Carrick.

Komposisi yang pas di lini tengah pun dinilai bisa menghidupkan Pogba kembali. Sama seperti di timnas Prancis pada Euro 2016, Mourinho masih memasang Pogba sebagai salah seorang pivot. Hasilnya jelas sama seperti ketika Pogba bermain di timnas Prancis: Ia jadi kurang hidup.

Meminta Pogba untuk membantu pertahanan di kotak penalti sendiri, tapi di saat bersamaan mengharapkan ia berlari sesegera mungkin ke depan atau membawa bola untuk melakukan serangan balik, terbukti membebaninya. Memainkan pemain seperti Carrick atau Schneiderlin –yang bisa membagi bola– atau Ander Herrera –yang bisa melindungi pertahanan dengan baik, seperti yang ia tunjukkan ketika menghadapi AFC Bournemouth– disinyalir bisa lebih membebaskan Pogba.

Keputusan soal susunan pemain jelas sepenuhnya ada di tangan Mourinho. Berani atau tidak ia merombak dan memperbaikinya. Toh, bukannya Mourinho awalnya dikenal sebagai manajer licin yang tidak hanya kenal satu cara main saja dan piawai mencari solusi?

sumber.Detik.com

Tirto.ID
Loading...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here