KORDANEWS- Di tengah segarnya perbincangan mengenai “urgensi regulasi mengenai Contempt of Court”, sebenarnya masih banyak yang belum mengetahui secara jelas apakah Contempt of Court itu sendiri. Istilah Contempt of Court dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi: ”Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court”. Dari pengertian ini saja kita mulai bertanya apa benar selama ini telah terjadi hal yang merendahkan, merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan peradilan? Lalu timbul pertanyan lagi, siapakah yang merendahkan ? Dari pertanyaan tersebut, timbulah suatu jawaban yaitu setiap orang, artinya tidak hanya terbatas pada pencari keadilan, terdakwa, penasehat hukum, saksi, pers atau orang yang hadir dalam persidangan, tetapi juga mencakup aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim atau lebih singkatnya semua aktor yang terlibat dalam sebuah peradilan.
Oemar Seno Adjie yang menyatakan bahwa perbuatan Contempt of Court ditujukan terhadap ataupun berhadapan dengan ʺadministration of justiceʺ, rechtpleging (jalannya peradilan). Yang secara umum dikategorikan menjadi: Misbehaving in court; (berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan), Disobeying a court ordert: (tidak mentaati perintah-perintah pengadilan), The sub judice rule; (menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan), Obstructing justice; (menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan), dan Scandalizing the court; (perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan/ publikasi).
Seiring dengan perkembangan zaman di era kebebasan berkumpul dan berpendapat, Contempt of Court yang dikategorikan oleh Oemar Seno Adjie pun akhir-akhir ini kerap terjadi di lembaga peradilan. Hilangnya sekat-sekat pemabatas opini, kebebasan pers, dan ajang unjuk kekuatan antar kelompok pun menjadi akibat langsung dari masa reformasi.
Gelar perkara melalui tayangan media elektronik nampaknya sudah biasa menjadi konsumsi publik di era kebebasan pers saat ini. Memperdebatkan perkara yang sedang berjalan seyogyanya tidak dilakukan. Selain dapat mengusik kebebasan dan imparsialitas hakim, aksi tersebut tidak jarang menyiratkan kesimpulan yang seolah keputusan harus diambil sesuai dengan perdebatan yang dilakukan. Hal inilah yang melandasi isu mengenai urgensi regulasi tentang Contempt of Court menjadi hangat di perbincangkan. Banyak kalangan yang berpikir bahawa pembentukan regulasi mengenai Contempt of Court justru akan menghambat pergerakan dan membatasi kebebesan yang ada, bahkan regulasi tersebut dianggap hanya untuk melindungi salah satu pihak saja.
Selain itu, regulasi tentang Contempt of Court juga didorong oleh beberapa kasus seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Jambi dalam kasus korupsi pada tanggal 16 Oktober 2017 yang dilakukan oleh demonstran dengan cara melamparkan kursi yang ada di meja informasi sehingga menimbulkan kerusakan. Tidak hanya itu, pada tanggal 25 Mei 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat menggelar sidang kasus terorisme dengan terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman, terdengar dua kali suara ledakan yang membuat suasana sidang menjadi tidak kondusif. Dan yang baru saja terjadi pada beberapa pekan yang lalu ialah kasus perusakan fasilitas meja, televisi, kursi dan kaca yang dilakukan oleh masa yang terjadi di Pengadilan Negeri Bantul pada 29 Juni 2018. Sehingga memperkuat arus pembuatan regulasi tentang Contempt of Court untuk membentengi aturan yang telah ada sebelumnya di KUHP tanpa mengekang kebebasan.
Sejatinya bila ditelaah, konsep regulasi Contempt of Court ditujukan untuk memperkuat proses penegakan hukum di institusi yudisial, bukan semata memperkuat institusi yudisial itu sendiri. Penilaian marginal terhadap kinerja pengadilan, harus pula fair diberikan tatkala variable yang mempengaruhi kinerja tersebut tak hanya dari internal pengadilan saja , tetapi juga dari eksternal. Sesungguhnya dalam Contempt of Court, keadilan (justice) itu sendiri-lah yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan –pula- hakim.
Fobia terhadap regulasi khusus Contempt of Court agaknya perlu diluruskan, mengingat tidak semua aturan di dalam rancangan undang-undang tersebut, bertujuan mengekang kebebasan dan sikap kritis terhadap peradilan dan prosesnya apalagi sebagai perisai untuk salah satu pihak. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses peradilan, menggiring asumsi masyarakat bahwa penegakan hukum memang harus dilakukan secara “kotor”.
Alasan lain yang kerap disuarakan tentang tidak perlunya pengaturan Contempt of Court ini diatur di dalam undang-undang tersendiri, adalah kekhawatiran akan terjadinya tumpang tindih dengan KUHP, KUHAP maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Sejatinya memang benar di dalamnya terdapat beberapa aturan yang bersentuhan dengan proses penegakan hukum yang sifatnya masih sangat umum. Dalam Pasal 207 KUHP misalnya, tidak secara spesifik merujuk pada Peradilan maupun Pengadilan, melainkan hanya penguasa atau badan umum di Indonesia. Atau di dalam Pasal 218 KUHAP yang tidak secara tegas menyebutkan sanksi bagi pembuat onar di dalam persidangan.
Selain itu, kerisauan juga terjadi antara RUU Contempt of Court dengan RKUHP yang dapat saling bertentangan. Namun bila ditelaah, dengan diajukannya RKUHP dan RUU Contempt of Court secara bersamaan, menjadi alternative solusi bagi pembentuk undang-undang, yaitu: Pengaturan mengenai Contempt of Court disatukan (dimasukkan) ke dalam naskah RUU KUHP, sebagai bab khusus mengenai tindak penghinaan pengadilan
Dibalik pertanyaan perlukah regulasi mengenai Contempt of Court di Indonesia, maka jawaban dari hal tersebut kembali pada setiap orang yang dapat menjadi aktor pemicu terjadinya Contempt of Court. Jika masyarakat semakin baik pemahaman hukumnya dan mampu mematuhi atau menjaga etika dalam suatu proses peradilan, dalam arti masyarakat, penegak hukum advokat, hakim,jaksa maupun polisi dan pihak lainnya baik perorangan maupun organisasi, regulasi mengenai Contempt of Court tidak begitu diperlukan. Namun sayangnya, rendahnya kesadaran masyarakat akan hal tersebut membuat regulasi mengenai Contempt of Court akan lebih banyak menelan korban.
Dari pemahaman tersebut, maka jelas pemerintah dalam hal ini legislatif harus mampu menghadirkan hukum tentang Contempt of Court yang baik, dengan terlebih dahulu melakukan berbagai pengujian yang sangat matang, terutama pengenalan kepada masyarakat sebagai bentuk menjamin keberlakuan regulasi mengenai Contempt of court nantinya. Baik dengan cara penyuluhan dan sosialisasi mengenai pencegahan Contempt of Court itu sendiri, maupun adanya sinergi dan koordinasi antara sesama aparat penegak hukum terhadap semua pihak yang terlibat.
Regulasi mengenai Contempt of Court sebenarnya dapat terealisasi dengan baik di Indonesia jika para aktor yang terlibat baik itu penegak hukum maupun masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan benar-benar mematuhi hukum dengan baik, sebagai syarat untuk terwujudnya urgensi regulasi mengenai Contempt of Court.
URGENSI REGULASI TENTANG CONTEMPT OF COURT













