KORDANEWS — Direktur IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi, Agus Maksum menyebutkan dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT) pemilu serentak 2019 ada data yang tidak wajar sebanyak 17,5 juta.
Diantaranya, data masyarakat yang lahir pada 1 Juli sebanyak 9,8 juta, 31 Desember 5,3 juta dan 1 Januari 2,3 juta.
“Itu tidak wajar karena jumlahnya dua puluh lipat dan sepuluh lipat dari normal. Data ini menurut pakar statistik merupakan data perusak,” kata Agus seusai persidangan MK, Rabu (19/6).
Agus menyebutkan, 17,5 juta data tersebut berasal dari DPTHP 2 (daftar pemilih tetap hasil perbaikan) yang di plenokan pada 15 Desember di Hotel Peninsula. Setelah itu, pihak BPN melakukan verifikasi ke lapangan dan menanyakan ke Dirjen Dukcapil Kemendagri.
“Ternyata di DP4 (Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu) data itu tidak ada rekaman KTP elektroniknya. Artinya, berdasarkan UU Pemilu 2017 Pasal 348, maka harus dicoret karena tidak memenuhi syarat,” ujar Agus.
Sementara, Kuasa Hukum 02, Teuku Nasrullah mengatakan seluruh alat bukti termasuk data 17,5 juta data bermasalah telah diserahkan ke kepaniteraan MK. Namun, tidak semua dokumen tersebut dibawa saat persidangan.
“Bukti itu ada, tapi karena percepatan waktu yang cepat, kami belum fotocopy dan jilid karena tempat foto copy di Jakarta dimana-mana penuh,” kata Nasrullah.
Meski demikian, ia menuturkan saksi lain akan memperkuat 17,5 data bermasalah. Termasuk para ahli yang melakukan analisa dalam persidangan.
“Kami bukan tidak siap, ini karena jumlahnya bukan sedikit. Jutaan bukti harus di foto copy Pemohon, Termohon dan pihak terkait,” ujarnya.
Ia juga mengkritik majelis hakim yang hanya memerlukan jawaban penegasan ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dari para saksi. Padahal, jelas Nasrullah, yang harus ditemukan MK adalah kebenaran dari pertanyaan-pertanyaan itu.
“(Permintaan) itu kan sebuah model pencarian kebenaran yang hanya bermain dari kata-kata. Tapi sudahlah kita hormati jalannya persidangan,” ujar Nasrullah.
Editor : Jhonny