Pada hakikatnya, semua orang menginginkan keadaan yang normal, baik, tanpa ada masalah apapun. Tidak ada satu orang pun yang ingin terjerat dalam masalah kehidupan kecuali keadaan dan kondisi yang tidak ideal bagi dirinya sehingga kejahatan adalah jalan terbaik dan tercepat menurut logika dirinya.
Padahal Allah Swt. telah menjamin keniscayaan solusi permasalah hidup yang pastinya akan mampu dilalui seseorang sebagai dalam firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi:
“Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya”.
Manusia memang membutuhkan kecerdasan inteligensi (intelligence quotient) dalam berpikir dan mempelajari ilmu pengetahuan sebagai bekal hidupnya di dunia, serta kecerdasan emosional (emotional quotient) dalam mengenali dan mengontrol emosi terhadap masalah-masalah yang timbul dari proses dan dinamika menggapai bekal kehidupan tersebut.
Namun yang tidak kalah penting adalah manusia harus dibekali dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan bernilai positif.
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh seseorang yang dapat memfungsikan kecerdasan inteligensi dan kecerdasan emosional secara efektif melalui rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama karena ketaatan terhadap ajaran agama.
Banyak metode yang didapatkan oleh seseorang untuk mendapatkan kecerdasan spiritual, diantaranya melalui lembaga pendidikan seperti sekolah formal, sekolah non formal, dan pesantren. Selain itu kecerdasan spiritual juga bisa didapat melaui siraman rohani pemuka agama dalam kegiatan keagamaan ataupun ceramah online di media sosial seperti Youtube dan Instagram. Semua orang bisa mendapatkan pencerahan untuk hidup yang lebih positif.
Misi pencapaian kecerdasan spiritual ini juga yang hendak dilakukan oleh Balai Pemasayarakatan terhadap klien pemasyarakatan dengan harapan akan ikut memperbaiki kecerdasan inteligensi dan kecerdasan emosional yang telah rusak akibat pelanggaran hukum yang dilakukan di masa lalu.
“Balai Pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tepatnya di bawah garis komando Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang salah satu tugasnya melaksanakan pembimbingan bagi klien pemasyarakatan serta tugas lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan sebagai Tenaga Fungsional Penegak Hukukmnya.”
Individu yang menjalani hukuman tersebut harus mengikuti semua tahapan-tahapan bimbingan yang dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab dan konsekuensi dari perbuatannya, dimana yang diatur bukan hanya kewajiban saja melainkan juga hak-hak mereka selama dibimbing di Balai Pemasyarakatan, salah satunya adalah hak mendapatkan bimbingan kepribadian oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Tugas sebagai Pembimbing Kepribadian bertujuan untuk membantu pembentukan karakter kepribadian yang baik dan menyadari kesempatan untuk senantiasa bersyukur, bertaubat, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Akan tetapi yang sering menjadi permasalahan adalah munculnya kecemasan yang melanda klien pemasyarakatan ketika benar-benar menyandang status mantan narapidana adalah merasa takut akan banyak hal yang mendatanginya setelah menghirup udara bebas. Kecemasanan merupakan sebuah kondisi yang berkaitan degan rasa takut, dimana setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh proses belajar ketika menghadapi stimulus tertentu.













