Dampak ekonomi dari program ini pun nyata. Warga kini menikmati peningkatan omzet hingga Rp529 juta per tahun, berkat hasil penjualan benih dan produk olahan ikan. Ketergantungan pada pakan pabrikan turun hingga 50 persen karena masyarakat mampu memproduksi pakan mandiri dari limbah organik dan sisa pasar.
“Selama empat tahun kami mendampingi, total ada sekitar 233 kilogram food waste yang diolah jadi pakan. Jadi, yang tadinya sampah, sekarang jadi sumber ekonomi,” terang Galih.
Keberhasilan ‘Belida Musi Lestari’ tak hanya mengubah nasib warga Sungai Gerong, tetapi juga menggugah pemerintah pusat. Pada tahun 2024, melalui advokasi Pertamina RU III, status perlindungan ikan Putak atau Belida Jawa resmi berubah dari perlindungan penuh menjadi perlindungan terbatas.
Artinya, masyarakat kini secara legal bisa membudidayakan ikan Belida, tanpa harus khawatir melanggar aturan. Inilah tonggak baru bagi pelestarian ikan endemik Sumsel yang selama ini hanya bisa dijumpai di museum atau cerita rakyat.
“Ini bukti bahwa CSR bukan sekadar tanggung jawab sosial, tapi bisa menjadi motor perubahan kebijakan nasional,” tegas Galih.
Kini, di tepi Sungai Musi, gema kehidupan ikan Belida mulai terdengar kembali. Dari kolam-kolam kecil di Sungai Gerong, benih-benih kehidupan itu disiapkan untuk dikembalikan ke alam.
“Kalau kelompok kami sudah berhasil memijah dan membesarkan, nanti anakannya akan kami lepas ke Sungai Musi,” kata Yudi, matanya menatap permukaan air dengan penuh harap.
Belida bukan sekadar ikan — ia adalah simbol kehidupan, identitas, dan kebanggaan Sumatera Selatan. Dan berkat sinergi antara ilmu, inovasi, dan empati, Pertamina RU III Plaju berhasil membawa legenda itu kembali ke arus Sungai Musi, kali ini dengan masa depan yang lebih pasti dan berkelanjutan.
Editor : Admin
