Kordanews – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mekanisme dua siklus Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) yang jangka waktunya bisa mencapai 190 tahun untuk HGU serta 160 tahun untuk HGB dan HP sebagaimana termuat dalam Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor: 185/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Stepanus Febyan Babaro (Karyawan Swasta) dan Ronggo Wasito (Pedagang) yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 16A ayat 1, ayat 2, ayat 3 UU 21/2023 tentang Perubahan Kedua atas UU 3/2022 tentang IKN.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Kamis (13/11).
Seperti dilansir dari CNN, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan substansi permohonan bermuara pada satu persoalan yaitu pemberian Hak Atas Tanah (HAT) di wilayah IKN dalam waktu jangka panjang dalam dua siklus sehingga jauh melebihi apa yang ditentukan oleh Undang-undang Pembaruan Agraria (UUPA).
Putusan itu menegaskan harus ada evaluasi berkelanjutan untuk pemberian, perpanjangan dan pembaruan hak. Kata dia, negara tidak mungkin dapat melakukan evaluasi apabila HAT diberikan dalam jangka waktu yang panjang.
“Implikasinya, kewenangan kontrol oleh negara yang seharusnya tetap eksis untuk melakukan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad) maupun pengelolaan (beheersdaad) menjadi berkurang atau bahkan terhalang karena tidak diaturnya evaluasi,” imbuhnya.
Guntur bilang dengan ada evaluasi yang ditegaskan dalam amar putusan MK nomor: 21-22/PUU-V/2007, maka pemerintah dapat menghentikan atau membatalkan atau menarik kembali HAT yang telah diberikan jika ternyata pemegang hak termasuk investor menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan (yang utama UUPA).
Dia menegaskan UUPA mengatur kepemilikan tanah agar seluruh tanah di wilayah NKRI dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun gotong royong.
“Sekalipun UUPA berlaku sejak tahun 1960, namun secara substansi dimaksudkan untuk mengikuti kepentingan rakyat Indonesia dalam memenuhi keperluannya menurut permintaan atau perkembangan zaman dalam segala hal ihwal berkenaan dengan agraria,” tandasnya.













