KORDANEWS — Bagi banyak orang, ampas gorengan hanyalah sampah kotor yang tak bernilai. Tapi bagi Rusli, warga Kelurahan Talang Betutu, Palembang, tumpukan limbah berminyak itu justru menjadi sumber rezeki, penyelamat lingkungan, sekaligus sarana terapi bagi penyandang gangguan jiwa.
Melalui UMKM PASTA 30, Rusli membuktikan bahwa dari sesuatu yang dianggap menjijikkan, bisa lahir peluang ekonomi dan harapan baru bagi sesama.
Semua bermula dari keprihatinan sederhana. Setiap hari, Rusli melihat sisa minyak dan ampas gorengan berserakan di sekitar tempat tinggalnya. Limbah itu biasanya dibuang sembarangan oleh warung kecil, mengalir ke selokan, dan menimbulkan bau tak sedap.
“Rumput sampai mati, saluran air mampet. Lama-lama saya pikir, kenapa tidak diolah saja?” kenang Rusli.
Dari tekad itulah, pada tahun 2019 ia membentuk UMKM PASTA 30 — singkatan dari Pakan Ampas Jelantah dengan angka 30 yang menandakan nomor RT tempat usaha ini berdiri. Ia mulai mengumpulkan limbah gorengan, tepung ayam, tahu, dan minyak bekas dari warung-warung di sekitar Talang Betutu.
Setiap kali produksi, sekitar 20 kilogram limbah dikukus selama 15 menit, lalu dipres menggunakan alat spinner hingga terpisah antara minyak dan ampasnya. Hasilnya, 7 kilogram minyak jelantah dan 13 kilogram ampas padat.
Minyak jelantah kemudian dijual ke pemasok untuk bahan baku biosolar dan lilin aromaterapi, sementara ampasnya diolah menjadi pakan ternak bebek dan ayam. Tak hanya itu, sebagian minyak juga diolah menjadi souvenir aromaterapi dan dipasarkan melalui galeri Dinas Pariwisata, Kampung Kreatif Proklim, serta toko daring.
“Kalau dijual, minyak jelantah kami dihargai Rp10.800 per kilo, sedangkan pakan ternak Rp4.000 per kilo,” ujar Rusli.
Lebih dari sekadar bisnis, UMKM PASTA 30 juga menjadi ruang pemberdayaan sosial. Dari enam orang pekerja yang terlibat, tiga di antaranya merupakan penyandang ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) binaan Yayasan Bagus Mandiri Insani.
Para ODGJ ini bukan sekadar membantu produksi, tapi juga sedang menjalani proses pemulihan. Mereka diberi tanggung jawab sesuai kemampuan—seperti memilah bahan, mengeringkan ampas, atau mengemas produk.
“Dengan aktivitas seperti ini, mereka merasa dihargai dan lebih fokus. Penghasilan mereka juga sekitar Rp1,5 juta per bulan,” kata Rusli.
Tak berhenti di situ, Rusli juga mendirikan Bank Jelantah enam bulan lalu. Program ini mengajak warga menabung minyak bekas mereka dan menukarnya dengan sembako seharga Rp6.000 per kilogram. Melalui koordinasi di tingkat RT dan kelurahan, minyak jelantah yang terkumpul disalurkan ke rumah produksi PASTA 30 dengan harga beli Rp7.500 per kilogram.













