Setiap bulan, Muddai merogoh kocek pribadi untuk kebutuhan SFC yakni berkisar Rp1,5 miliar (pembayaran gaji dan biaya laga away).
“Saat saya masuk kondisi keuangan nol. Tapi saya berupaya bertahan agar klub ini tetap mengikuti laga home dan away karena jika tidak ikut maka akan ada pengurangan 5 poin. Alangkah malunya kita, jika itu sampai terjadi,” ujarnya.
Namun setelah berupaya maksimal, Sriwijaya FC tetap tidak terselamatkan dari degradasi dari Liga 1 ke Liga 2 karena diakui banyak persoalan internal dan eksternal yang terjadi selama mengarungi kompetisi, khususnya setelah putaran kedua berjalan.
“Atmosfer sepak bola lagi tidak sehat, kita sama-sama tahu ada exco PSSI yang terlibat langsung. Ibaratnya kita dalam kondisi lemah, lagi flu dengan kondisi seperti itu jelas langsung demam,” kata dia.
Saat ini Muddai Madang diketahui memiliki saham di PT SOM sebanyak 88,0 persen, sementara sisanya dimiliki Yayasan Sepak Bola SFC (milik Pemerintah Provinsi). Kepemilikan saham mayoritas Muddai itu berubah dari 58,0 persen
ke 88,0 persen pada Juni 2018.
Selama ini Muddai hanya bertindak dibalik layar sebagai Komisaris Utama sejak PT SOM berdiri di tahun 2008 atau setelah adanya aturan dari pemerintah berupa pelarangan penggunaan dana APBD untuk klub profesional. “Saat saya masuk, kondisi keuangan nol. Seluruh pemilik saham diminta (Baryadi, Bakti Setiawan, Yayasan Sepak Bola, red) untuk setor dana. Tapi tidak ada yang bisa, hanya saya. Jadi dalam aturan perseroan, sahamnya akan terdelusi sendiri,” ungkapnya.
Terlepas dari persoalan kepemilikan ini, Muddai menyatakan dirinya siap melepas semua saham yang dimiliki asalkan sesuai dengan aturan perseroan.
“Pada dasarnya saya memang tidak ada niat untuk ambil alih, saya ini ‘nyelamatin’ tapi saya justru dicaci. Saya kemarin hanya penugasan saja, karena saya sudah jadi komisaris utama sejak berdiri PT SOM. Tapi sekarang saya sudah tidak berminat lagi,” pungkasnya. (AC)
Editor : Chandra Baturajo.













