Home Headline Lagu Budaya Dijadikan Senjata Kampanye: Fir Azwar Gugat Yudha-Bahar

Lagu Budaya Dijadikan Senjata Kampanye: Fir Azwar Gugat Yudha-Bahar

KORDANEWS — Polemik seputar penggunaan lagu “Lenggang Zapin Palembang” dalam kampanye pasangan calon wali kota Palembang Yudha-Bahar telah menarik perhatian publik dan kalangan seni, terutama karena kasus ini menyangkut dugaan pelanggaran hak cipta dan etika dalam penggunaan karya budaya untuk tujuan politik.

Lagu tersebut, yang diciptakan oleh Fir Azwar, merupakan karya yang menyimpan nilai budaya dan sentimental.

Mengetahui lagunya dijadikan latar musik kampanye pasangan nomor urut tiga, tanpa izin atau komunikasi sebelumnya, Fir merasa kecewa.

Bagi Fir, “Lenggang Zapin Palembang” bukan sekadar irama, tetapi representasi dari identitas dan kebanggaan budaya yang tak seharusnya diseret ke dalam ranah politik.

Fir mengisahkan bahwa lagu tersebut sering digunakan dalam acara-acara budaya. Ia dengan senang hati memberikan izin saat ada yang meminta dengan baik, seperti ketika sekelompok anak-anak dari Kepulauan Riau ingin membawakan lagunya dalam pentas budaya.

Mereka secara resmi menghubunginya, berbicara dengan penuh sopan, dan menghargai proses perizinan.

Fir menilai bahwa penghormatan ini adalah sesuatu yang hakiki dalam menjaga karya budaya.

Berbeda dari pengalaman tersebut, keputusan tim Yudha-Bahar yang menggunakan karyanya tanpa izin untuk tujuan politik sangat mengecewakannya.

Kasus ini akhirnya masuk ke ranah hukum, dengan Fir menunjuk Febuarahman, SH, sebagai kuasa hukum.

Febuarahman telah menetapkan batas waktu hingga Sabtu siang, 9 November 2024, untuk pasangan Yudha-Bahar agar memberikan permintaan maaf secara terbuka di media.

Jika tidak ada itikad baik dari pihak kampanye, maka pihak Fir akan menempuh langkah hukum.

Di pihak lain, tim Yudha-Bahar yang dihubungi belum bersedia memberikan keterangan.

Kasus ini membawa banyak pesan penting. Pertama, hal ini menyoroti betapa pentingnya edukasi tentang hak cipta dalam kampanye politik, terutama di tengah era digital, di mana karya seni lebih mudah diakses dan sering kali disalahgunakan.

Lagu atau karya seni tidak hanya sekadar produk yang bisa digunakan secara bebas, melainkan simbol identitas penciptanya dan harus dihormati.

Kedua, peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya profesionalisme dalam setiap langkah kampanye politik.

Menggunakan karya tanpa izin, khususnya karya yang bermuatan budaya, tak hanya melanggar hak cipta tetapi juga dapat merusak citra dan nilai yang dibangun penciptanya.

Fir Azwar berharap bahwa insiden ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih menghargai dan melindungi warisan budaya dengan lebih baik.

Kasus “Lenggang Zapin Palembang” mengajarkan bahwa komunikasi, transparansi, dan apresiasi adalah langkah-langkah esensial dalam menggunakan karya orang lain. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal kehormatan terhadap karya yang lahir dari dedikasi dan cinta pada budaya.

Kedua, peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya profesionalisme dalam setiap langkah kampanye politik.

Menggunakan karya tanpa izin, khususnya karya yang bermuatan budaya, tak hanya melanggar hak cipta tetapi juga dapat merusak citra dan nilai yang dibangun penciptanya.

Fir Azwar berharap bahwa insiden ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih menghargai dan melindungi warisan budaya dengan lebih baik.

Kasus “Lenggang Zapin Palembang” mengajarkan bahwa komunikasi, transparansi, dan apresiasi adalah langkah-langkah esensial dalam menggunakan karya orang lain. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal kehormatan terhadap karya yang lahir dari dedikasi dan cinta pada budaya.

Tirto.ID
Loading...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here