KORDANEWS – Melupakansejenak hiruk pikuk Pilpres yang sedang di puncak proses, sangat relevan mengenang kembali peristiwa 64 tahun berselang, di Bandung kota Lautan api. Saat itu, tepatnya tanggal 24 April 1955 berlangsung Konferensi Asia Afrika (KAA). Sebuah pertemuan tingkat dunia yang bersejarah. KAA meletakkan Indonesia sebagai negara terkemuka dan berpengaruh luas, kendatipun usia kemerdekaannya baru 9 tahun.
Kilas Balik
Saat itu, sebanyak 29 negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah berkumpul. Jumlah peserta yang hadir dalam konferensi diperkirakan 1.500 orang. Akomodasi untuk 500 wartawan juga diurus. Demi kelancaran transportasi, sebanyak 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, serta 230 sopir pun disiapkan. Untuk itu, pada 7 April 1955 Presiden Sukarno sudah melakukan pengecekan. Demi memperkuat identitas dan semangat, nama Gedung Dana Pensiun sebagai lokasi konferensi diubah menjadi gedung Dwiwarna dan Gedung Concordia diganti menjadi Gedung Merdeka.
Konferensi dibuka pada 18 April 1955. Pada hari pembukaan KAA, Sukarno membacakan pidatonya, bertajuk: Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru. Substansi paling utamanya adalah mengecam kolonialisme, rasialisme, dan mengutarakan posisi mereka dalam Perang Dingin. Ajang yang juga dikenal sebagai Konferensi Bandung itu menciptakan persekutuan antara negara-negara non-aliansi di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. Negara yang tidak berkiblat atau memihak Amerika Serikat sebagai blok Barat dan tidak berkiblat ke Uni Sovyet sebagai Blok Timur.
Negara yang sedang berkumpul ini seia sekata, dan menetapkan bahwa kepentingan mereka sebagai bangsa tak akan terpenuhi meski mereka bersekutu dengan Amerika Serikat atau Uni Soviet. Negara negara ini yakin, kalau mereka bersekutu dengan blok negara besar itu akan menjadi kacung atau berada di bawah perintah mereka. Untuk itulah, perwakilan ke-29 negara itu, yang tercatat diantaranya dari Mesir, Indonesia, India, Irak, dan China bertemu untuk membicarakan penjabaran dari tema yang diusung.
Dikutip dari Telusur.co.id Para delegasi negara peserta bergantian berpidato yang isinya mengecam kolonialisme sebagai tema sentral, dan menyerukan kemerdekaan bagi semua negeri yang masih dijajah. Rasialisme juga dikecam, dengan praktik apartheid di Afrika Selatan menjadi sasaran kecaman yang paling keras. Kecaman, yang kkemudia menghapus prinsip – prinsip rasilaisme.
Negara berkembang ini juga menyerukan agar perlombaan senjata diakhiri dan semua senjata nuklir dimusnahkan. Pesan dasar KAA adalah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tak berdampak apapun bagi negara yang masih berkutat dengan masalah ekonomi, kesehatan, pangan, serta perang melawan kolonialisme dan rasialisme.
Perubahan Peta Politik Internasional
Berlanjut di Non-Blok Setelah KAA 1955, peta percaturan politik internasional mulai berubah. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bukan lagi menjadi forum eksklusif. Di PBB, biasanya negara Blok Barat dan Blok Timur adu eksistensi. Setelah KAA, muncul dunia ketiga, dan belakangan muncul Non-Blok. Negara-negara yang berusaha netral lalu terus berkonsolidasi. Mereka juga tidak berjuang sendiri. Josip Broz Tito, pemimpin Yugoslavia sat itu, satu suara untuk tidak bermazab ke Blok Barat maupun Blok Timur. Padahal, Yugoslavia tidaklah terletak di benua Asia maupun Afrika. Yugoslavia adalah negara kuat di Balkan saat Perang Dingin.
Para tokoh atau tepatnya kepala negara dari bebagai negara, yaitu Sukarno (Indonesia), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), Jawaharlal Nehru (India), Tito juga ikut memprakarsai Gerakan Non-Blok. Awalnya, banyak negara netral ikut gerakan ini. Di Beograd, ibu kota Yugoslavia, pada 1 hingga 6 September 1961, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok pertama kali diadakan.
Padahal, KAA pernah membuat Indonesia dianggap salah satu pemimpin dunia karena bisa menyatukan negara-negara berkembang untuk berbeda dengan Blok Barat maupun Blok Timur.
Namun demikian ruh dari KAA, yang secara substansial dikandung dalam tema menghapus penjajarahan itu kemudian dijabarkan dengan melahirkan Deklarasi Bandung. Berisi 10 poin yang mendorong terciptanya perdamaian dunia dan kerja sama seluruh bangsa. Di sini, ternyata tak hanya konferensi sehari, poin penting dari kelanjutan KAA adalah saling mengenalnya negara perserta yang hampir semuanya adalah negara berkembang, dan menjalin kerja sama yang diwujudkan pada Konferensi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika di Kairo, diselenggarakan pada bulan September 1957.(Ist)
Editor : J.Wick